Jokowi memimpin rapat
terbatas mengenai progres Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) yang telah disepakati oleh DPR dan Kabinet pada rapat
paripurna tingkat I. Dalam keterangannya usai mengikuti rapat di Jakarta.

Mendagri Tito Karnavian
menyampaikan bahwa sejumlah masalah dalam RKUHP telah disepakati.

“Ada materi-materi yang
diperdebatkan baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai juga, tapi
sejumlah masalah sudah disepakati dan juga sudah dikoordinasikan untuk mencari
temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan
juga kepentingan negara,” ujar Tito.

Sementara ituWamenkumham
Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyampaikan, DPR memberikan
sejumlah masukan terkait RKUHP yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah
(DIM). Menurut Eddy, beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi
antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat
pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.

“Teman-teman ICJR
[Institute for Criminal Justice Reform] yang tergabung dalam koalisi masyarakat
sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun
dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan
kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” ujar Eddy.

Sejumlah poin yang telah
dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam
masyarakat atau living law,
pidana mati, hingga pencemaran nama baik. Terkait pidana mati, Eddy mengatakan
bahwa dalam RKUHP yang baru pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan
masa percobaan.

“Artinya, hakim tidak
bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan
10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka
pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,”
lanjutnya.

Kemudian, Jokowi juga
menambahkan pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dengan
sejumlah pembatasan. Penghinaan terhadap pemerintah dalam pasal tersebut
terbatas pada lembaga kepresidenan, sedangkan penghinaan terhadap lembaga
negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta
lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

“Baik dalam penjelasan
pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Kepala Negara,
maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan
penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” kata
Eddy.

Dalam RKUHP tersebut,
pemerintah juga menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan
yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Eddy berharap dengan memasukkan ketentuan UU ITE dalam RKUHP disparitas putusan
dapat diminimalisasi.

“Untuk tidak terjadi
disparitas dan tidak ada gap maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang
ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian,
dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal
28 yang ada dalam undang-undang ITE,” pungkas Eddy.