Dana investasi China mengatakan akan menanamkan US$3 miliar dalam proyek-proyek “konektivitas ekonomi” antara Indonesia dan China, beberapa hari sebelum kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Jakarta untuk pembicaraan “tingkat tinggi”, termasuk tentang Belt and Road Initiative (BRI).
Pengumuman itu muncul setelah negara-negara G7 mengatakan pekan lalu bahwa mereka berencana untuk mengumpulkan dana $600 miliar selama lima tahun untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang untuk melawan BRI, program infrastruktur Beijing senilai $1 triliun-plus untuk membangun jaringan kereta api, pelabuhan dan jembatan di 70 negara.
Lembaga Pengelola Investasi Indonesia (Indonesia Investment Authority/INA) meneken kerangka kerja sama investasi dengan Silk Road Fund (SRF) milik Pemerintah China pada Senin, kata kedua belah pihak dalam pernyataan mereka.
"Kami yakin investasi di Indonesia dan kawasan sekitarnya memiliki potensi tinggi, apalagi jika dilakukan bersama-sama dengan INA. SRF bermaksud berinvestasi hingga 20 miliar yuan atau jumlah setara di bawah kesepakatan ini," ucap Wang.
Dalam kerangka kerja sama yang ditandatangani pada Senin (4/7) tersebut, kedua pihak menyepakati prinsip dan syarat umum saat melakukan dan menyaring investasi bersama, kata Presiden SRF, Yanzhi Wang, dalam keterangan tertulis.
SRF direncanakan bakal menanam modal hingga 20 miliar yuan (sekitar US$2,9 miliar) atau setara Rp44,5 triliun di Indonesia.
Kerangka kerja sama juga akan mencakup investasi di sektor yang terbuka untuk investasi asing, khususnya yang dapat mempromosikan pengembangan masyarakat dan konektivitas antara Indonesia dan China, jelas Wang.
SRF merupakan dana pembangunan dan investasi jangka menengah dan panjang yang dibentuk Pemerintah China sebagai tindak lanjut BRI yang digagas Beijing.
Ketua Dewan Direktur INA Ridha Wirakusumah mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen mempromosikan hubungan ekonomi bilateral Indonesia-China lewat penandatangan kerangka kerjasama ini.
“Sebagai bagian dari perjanjian yang ditandatangani, INA akan berinvestasi bersama SRF, serta membuka kemungkinan mengundang investor lain,” kata Ridha lewat keterangan tertulis.
Dalam pernyataan usai pelantikan direksi INA pada Februari 2021, Jokowi mengatakan bahwa keberadaan INA diharapkan dapat menjadi penarik investor untuk menanam modal demi ketercukupan pembiayaan program pembangunan nasional, terutama infrastruktur.
Merujuk situs resminya, INA yang dibentuk pada Februari 2021 berfokus pada beberapa sektor utama investasi, meliputi infrastruktur, rantai pasok dan logistik, infrastruktur digital dan teknologi, investasi energi terbarukan, jasa kesehatan dan keuangan, dan pariwisata.
Laporan keuangan 2021 INA menyatakan, total dana yang dikelola per 2021 mencapai Rp79,22 triliun. Angka itu masih lebih kecil dari target yang dipatok Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2021 yakni mencapai Rp300 triliun.
Walhasil, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menanggapi positif penandatanganan kerangka kerja sama antara INA dan SRF.
Terlebih INA selama ini belum berkontribusi besar dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah, bahkan pemerintah masih menjadi sumber utama permodalan INA.
"Dalam konteks menghimpun dana, kerja sama INA dan SRF ini menjadi inisiasi bagus... Dalam konteks Indonesia, tentu bagaimana mendorong kepentingan strategis dalam pembiayaan proyek-proyek nasional," kata Rendy kepada BenarNews.
Pemerintah menyuntikkan modal awal INA sebesar Rp75 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2020 dan 2021 dan pengalihan saham.
Kendati masih tergolong kecil, Global Sovereign Wealth Fund yang mendata aktivitas investasi lebih dari 400 lembaga pengelola investasi di dunia menyatakan pada Mei lalu bahwa INA menempati urutan pertama perihal jumlah investasi terbesar sepanjang April 2022, mencapai US$2,7 miliar atau sekitar Rp 39,19 triliun.
Keseluruhan investasi pada bulan itu adalah US$11,8 miliar atau sekitar Rp 171,31 triliun.
Uni Emirate Arab sudah berkomitmen untuk menginvestasikan US$10 miliar di INA, sementara Arab Saudi juga sudah menyatakan minatnya, kata pejabat Indonesia.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri China Wang Yi akan melakukan kunjungan ke Asia Tenggara termasuk pertemuan bilateral tingkat tinggi dengan pejabat Indonesia setelah pertemuan menteri luar negeri G20 di Bali pada 8 Juli.
Wang Yi akan melakukan Pertemuan Kedua Mekanisme Kerja Sama Dialog Tingkat Tinggi China-Indonesia dengan Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Maritim, Luhut Pandjaitan pada 9 Juli, kata Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
Lawatan Wang Yi ke sejumlah negara Asia Tenggara termasuk Myanmar, Indonesia, Filipina, Thailand dan Malaysia menunjukkan pentingnya kawasan ini bagi China, terutama untuk memastikan kerja sama BRI berjalan sesuai rencana, kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian.
“China berharap bisa memperdalam komunikasi strategis dengan empat negara Asia Tenggara, bekerja untuk kerja sama Belt and Road, membangun rumah yang damai, aman dan tenteram, sejahtera, indah dan bersahabat dan memulai Kemitraan Strategis Komprehensif China-ASEAN dengan awal yang baik,” ujar Zhao Lijian seperti dimuat dalam situs Kementerian Luar Negeri China.
Muhadi Sugiono, pengajar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan bagi China, Asia Tenggara adalah halaman belakangnya, sehingga berkepentingan untuk memastikan agar kawasan tersebut sesuai dengan keinginan mereka.
Kendati China memiliki proyek BRI di kawasan, negara-negara Asia Tenggara juga berhati-hati menjalin hubungan lebih erat, di tengah kompetisi Beijing dengan Washington.
“Seperti Indonesia, secara ekonomi sangat bergantung dengan China, tapi secara postur keamanan cenderung ke Amerika Serikat,” ujar dia pada BenarNews.
Karena itu, China akan tetap menahan diri untuk tidak terlalu agresif di kawasan meski mempunyai masalah teritorial di Laut China Selatan dengan berbagai negara Asia Tenggara, ujarnya.
Nur Rachmat Yuliantoro, juga pengajar di jurusan yang sama di UGM mengatakan kunjungan Wang Yi ke Asia Tenggara ini menyiratkan pesan bahwa China akan tetap menjadi “negara yang bersahabat” di kawasan itu.
“China adalah aktor utama dalam dinamika politik dan keamanan di Asia Tenggara,” tegasnya.
Dengan kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power) yang dimiliki, China berpotensi besar mengembangkan kerja sama soal keamanan dan perdamaian dengan negara-negara Asia Tenggara.
“Hal itu bisa saja terjadi, namun dengan tetap mempertimbangkan faktor AS yang tentunya tidak ingin ada halangan bagi kepentingan nasionalnya di kawasan,” tutupnya.
0 Comments
Posting Komentar