Direktur Center of Economics and Law
Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah untuk
mengembangkan sorgum untuk mengalahkan gandum sebagai substitusi impor
tidak akan mudah.

"Belum bisa. Skala produksinya masih terlalu
kecil," ujar Bhima kepada Tempo pada Sabtu, 6 Agustus 2022.

Persoalan skala produksi ini menurutnya penting karena
hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang
bisa ditanami sorgum. Sementara di wilayah lainnya, masyarakat lebih tertarik
menanam beras karena faktor stabilitas harga.

"Ada harga pembelian beras atau gabah dari
Bulog misalnya. Jadi ada kepastian lanjutan bisnis jangka panjang bagi
petani," ucapnya.

Selain masalah lahan, menurut Bhima jika
pemerintah ingin membuat food estate sorgum seharusnya perbaiki dulu food estate
yang sudah ada sekarang. Sebab, banyak food estate yang masih belum baik dari
segi on farm maupun off farm-nya, juga pada saat pengerjaan maupun saat
pengolahan paska panennya.

Kegagalan dalam proyek food estate saat ini, kata dia,
harus menjadi pelajaran terlebih dahulu bagi pemerintah agar bisa menata
kekurangannya. Seperti masalah irigasi, masalah manajemen, maupun persoalan
kerja sama dengan para petani yang terjadi di banyak daerah food estate.

"Sehingga aneh sebenarnya ketika food estate rame
gitu. Padahal dalam dua tahun terakhir luas lahan panen padi itu turun 2 persen
di tahun 2021, data dari BPS," tuturnya.

Untuk tanaman beras saja, menurutnya,
food estate itu terbukti gagal, apalagi ketika mengembangman sorgum. Terlebih
mimpi pemerintah besar sekali untuk menjadikan sorgum sebagai pengganti dari
gandum.

Bhima menjelaskan komoditas sorgum itu banyak juga
digunakan untuk bio ethanol atau untuk bahan bakar, sama halnya dengan tebu.
Jadi kegunaan sorgum terbagi dua, sehingga pemerintah harus memilih ke arah
mana pengembangan yang akan dilakukan, apakah untuk energi atau untuk pangan.

Ia berpendapat jika proyek pemerintah ini hanya sebagai
inisiasi, maka masih memungkinkan tercapai. Namun apabila targetnya untuk
mengantikan posisi gandum, menurutnya belum bisa. "Dan saya kira yang
paling penting sekarang kalau mau serius gausah muluk-muluk lah, untuk sorgum
bisa menjadi pangan yang bisa menggantikan beras di kawasan NTB NTT itu sudah
lebih dari bagus," ujarnya. 

Bhima berharap pemerintah dapat
memperbaiki dulu food estate yang sudah ada sekarang, baru membahas soal
komoditas lainnya. Sehingga anggaran untuk proyek tersebut tidak terbuang
percuma. Apalagi jika pemerintah ingin menjawab krisis pangan, perlu dipikirkan
jangka waktu proyek ini membuahkan hasil.