Presiden
Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan masalah pangan saat ini menjadi persoalan
yang harus dihadapi banyak negara di dunia termasuk Indonesia.



Hal
ini terjadi lantaran semakin banyak negara yang menghentikan ekspor bahan
pangannya untuk kebutuhan dalam negeri sendiri.



Jokowi
memberi perhatian khusus terhadap ancaman krisis pangan yang mendera dunia.



Jokowi
memperingatkan masalah pangan saat ini menjadi persoalan yang harus dihadapi
banyak negara di dunia termasuk Indonesia.



Hal
ini terjadi lantaran semakin banyak negara yang menghentikan ekspor bahan
pangannya untuk kebutuhan dalam negeri sendiri.



Jokowi
memberi perhatian khusus terhadap ancaman krisis pangan yang mendera dunia.



​​Krisis
pangan dan energi bukan lagi akan mengancam namun sudah benar dirasakan.
Seperti yang sering disampaikan Jokowi. Indonesia bahkan sudah terkena dampak
krisis tersebut.



"Beberapa
komoditas alami peningkatan," ungkap Setianto, Deputi Bidang Statistik
Distribusi dan Jasa BPS, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/6/2022).



Dari
sisi energi, ada minyak mentah yang kini harganya menjadi US$ 109,6 per barel
dari US$ 65 per barel dan batu bara dari US$ 99,3 mt menjadi US$ 280 mt.



Dalam kelompok pangan, ada minyak kelapa
sawit (CPO) dari US$ 1.136 mt menjadi US$ 1.716,9 mt atau naik 51,08% (yoy).
Kopi alami kenaikan 29,39% menjadi US$ 2,3 /kg, gandum naik 75,71% menjadi US$
522,3 mt, kedelai naik 11,95% menjadi US$ 724,1 mt dan daging sapi naik 10,9%
menjadi US$ 6,1 /kg.



Lonjakan harga tersebut dipengaruhi oleh
perang Rusia dan Ukraina yang diikuti oleh larangan ekspor terhadap barang
tertentu di beberapa negara. Seperti Rusia menahan pasokan gandum, biji bunga
matahari, pupuk, pupuk nitrogen.

India
juga melarang ekspor gandum. China juga ikut melarang ekspor pupuk. Ukraina
membatasi ekspor unggas, telur, minyak bunga matahari dan daging sapi.
Indonesia sendiri sempat melarang ekspor CPO dan turunannya namun sudah dibuka
kembali.



Atas persoalan tersebut, tak heran bila
kemudian muncul krisis pangan dan energi.



"Krisis pangan dan energi memicu
tekanan termasuk inflasi dan pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang
kita. Kenakan inflasi dan perlambatan ekonomi membuat proyeksi IMF (Dana
Moneter Internasional) dan Bank Dunia berubah," ujarnya.