Presiden Joko Widodo mengimbau agar Pemilu 2024 bebas dari
praktik politisasi agama serta penggunaan politik identitas lainnya. Hal ini ia
sampaikan dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR RI 2022, di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 16 Agustus.

“Tahapan pemilu yang sedang dipersiapkan oleh KPU harus kita
dukung sepenuhnya. Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada
lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus
semakin dewasa. Konsolidasi nasional harus diperkuat,” kata Jokowi.

Jokowi juga mengapresiasi para tokoh agama yang turut
berperan dalam merawat persatuan dan kesatuan bangsa.

“Terima kasih kepada ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat,
dan tokoh kebudayaan, yang berkontribusi besar memperkokoh fondasi kebangsaan,
serta merawat persatuan dan kesatuan nasional,” kata Jokowi.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP), Benny Susetyo merespons pidato Jokowi tersebut. Menurut dia,
politik identitas nyatanya masih terus dimainkan selama periode pemerintahan
Jokowi.

“Sudah dalam kurun waktu sepuluh tahun ini, sepanjang
pemerintahan Jokowi, politik identitas dimainkan dan ini menyebabkan
ketegangan. Masyarakat mengalami distrust karena politik identitas ini,” kata
Benny.

Terkait imbauan Jokowi ini, Deputi IV Kantor Staf Presiden
(KSP) Juri Ardiantoro menegaskan, pesan tersebut ditujukan kepada semua
kalangan. Mulai dari elite politik hingga masyarakat umum.

“Keterbelahan politik di masyarakat adalah akibat dari
perilaku politik para elite dalam berbagai level yang tidak sadar betapa
berbahayanya politisasi agama dan politik identitas," kata Juri dalam
keterangannya, Selasa (16/8/2022).

Juri mengatakan, pola tersebut perlu diwaspadai jelang
pemilu. Sebab, politik identitas adalah formula yang sangat mudah untuk memicu
radikalisasi penyesatan masyarakat.

Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Parameter
Politik Indonesia, Adi Prayitno. Ia menyebut pesan Jokowi dalam pidatonya
ditujukan kepada rakyatnya.

“Pidato Jokowi ini bukan hanya sebatas perkubuan politik ya.
Tapi artinya dia sebagai Presiden Republik Indonesia bahwa jangan
mengkafir-kafirkan kalau hanya urusan politik, politik urusan kalah menang
nggak ada hubungannya surga neraka,” kata Adi saat dihubungi reporter Tirto.

Adi menambahkan, “Pak Jokowi mau ingetin itu saja. Karena,
kan, sudah banyak kejadian orang menganggap politik itu semacam perang agama.
Lah, itu yang sebenarnya ingin dihindari. Ya, itu berlaku kepada siapapun,
tentu untuk menjaga stabilitas dan keutuhan berbangsa dan bernegara.”

Meskipun demikian, Adi tak menampik bahwa pernyataan Jokowi
tersebut erat kaitannya dengan residu Pilpres 2014 dan 2019 yang menyisakan
polarisasi hingga saat ini.

“Kan, ada orang atau kelompok yang menganggap pemilu urusan
masuk surga dan neraka. Kan, perpecahan sampai sekarang masih terjadi gara-gara
masalah isu politik identitas itu, kan. Fragmentasinya sampai sekarang
kelihatan, cebong dan kampret nggak ilang-ilang tuh. Karena bagian residu dari
demokrasi 2019 yang belum usai sampai sekarang," katanya.

Selain itu, menurut Adi, Jokowi dalam pidatonya hendak
mengingatkan kelompok-kelompok di luar pendukungnya, namun secara bersamaan
melakukan evaluasi internal.

“Kalau mau jujur sebenarnya satu sisi Jokowi ingin bilang ke
kelompok-kelompok di luar Jokowi, tapi pada saat yang bersamaan Jokowi juga
ingin mengevaluasi di internal. Jadi siapapun nanti orangnya, partainya yang
saat ini berada di koalisinya Jokowi, janganlah coba-coba menggunakan agama dan
politik identitas sebagai sentimen kemenangan. Kira-kira begitu," kata Adi.

Sementara itu, Dosen Psikologi Politik Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta (UNS), Abdul Hakim menyebut, pidato Jokowi tersebut
adalah manuver normatif kepala negara untuk menetapkan etika politik tertentu.

“Sebagai presiden, itu punya dimensi manuver yang bisa
dilakukan. Yang pertama adalah hal-hal yang bersifat normatif. Pidato Jokowi
itu merupakan langkah normatif, sebagai seorang pemimpin ia ingin menetapkan
standar etika politik tertentu dalam hal ini menolak politik identitas,"
kata Abdul Hakim.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu DPP
PKB, Jazilul Fawaid mengatakan, imbauan Presiden Jokowi sangat penting
disampaikan. Sebab, Pemilu 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menciptakan
polarisasi dan pembelahan yang cukup serius di tengah masyarakat.

Abdul Hakim menambahkan, pernyataan Jokowi tersebut harus
dikonkretkan melalui sejumlah langkah turunan. “Sebagai contoh, Jokowi tentu
punya tim ahli untuk menganalisis asal muasal polarisasi identitas yang
didasarkan pada sentimen agama. Salah satunya adalah karena pemilih yang
cenderung memiliki afiliasi agama yang kuat itu merasa tidak dirangkul oleh
pemerintah sekarang," kata dia.

Ia melihat, dalam dua periode kepemimpinan Jokowi, terdapat gap
psikologis antara pemilih berbasis agama dengan pemerintah.

“Bukannya semakin mendekat, justru semakin melebar. Dan ini
diamplifikasi dengan berbagai kasus yang dinilai sebagai diskriminasi terhadap
kelompok agama seperti pembubaran HTI, penangkapan anggota Khilafatul Muslimin.
Meskipun itu punya dalih, tetapi bagi kelompok politik muslim itu dianggap
sebagai upaya mendiskreditkan posisi politik mereka," katanya.

Sementara itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Mardani Ali Sera mengatakan, pidato Jokowi tersebut merupakan gagasan baik yang
masih memerlukan turunan. Salah satunya adalah dengan memastikan pilpres
diikuti lebih dari dua pasangan calon.

“(Gagasan) bagus, tapi harus ada turunan aksinya dan salah
satunya memastikan pilpres tidak 2 pasang calon, karena 2 pasang calon akan
sangat berakibat kepada maraknya politik identitas," katanya.

 Selain itu, Mardani
menyebut bahwa format kampanye gagasan oleh peserta kontestasi politik harus
diperkuat. Cara yang demikian itu menurut Mardani dapat menghalau tumbuhnya
politik identitas

“Jadi jangan sibuk dengan fenomenanya, dengan akibatnya.
Tapi di sebabnya. Sebabnya (politik identitas) karena tidak ada kampanye
gagasan, karena cuma 2 pasang calon. Tapi kalau lebih dari 2 (pasang calon),
kemudian kampanye gagasan orang akan susah masuk ke politik identitas karena
yang lain tidak masuk ke medan tempur itu," kata Mardani.

Lahirnya politik identitas, menurut Abdul Hakim, dipicu oleh
minimnya gagasan yang dapat ditawarkan oleh elite politik kepada masyarakat.

“Politik identitas itu muncul setiap kali elite politik
tidak memiliki tawaran program politik untuk menarik hati masyarakat. Sehingga
satu-satunya instrumen yang bisa dilakukan adalah melakukan mobilisasi
identitas," kata Abdul Hakim.

Menurut Abdul Hakim, hal tersebut terjadi karena mobilisasi
identitas tidak memerlukan pemikiran mendalam dan tidak membutuhkan sebuah
usaha merancang kebijakan yang mungkin sistematis.

Ia menyebut politik identitas telah menjelma menjadi
instrumen instan bagi seorang elite yang ingin mendulang dukungan politik.

“Artinya politik identitas akan semakin menguat ketika
kandidat-kandidat yang muncul itu tidak berkualitas, tidak memiliki visi
kebangsaan dan kenegaraan yang kuat. Sehingga menurut saya cara menurunkan
politik identitas yang pertama harus dilakukan parpol adalah mengajukan
capres-cawapres yang mampu menyampaikan visi kebangsaan yang kuat didukung
dengan program kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan," kata dia.

Berbeda dengan Abdul Hakim, pengamat politik dari Lingkar
Madani (LIMA), Ray Rangkuti menyebut, bahwa cikal bakal reproduksi politik
identitas adalah tidak adanya definisi yang jelas atas apa yang disebut sebagai
politik identitas.

“Masalahnya itu adalah soal apa yang kita sebut dengan
politik identitas. Kalau kita nggak punya definisi yang tegas dan jelas, yang
ada adalah saling tuding. Semua orang tiba-tiba jadi korban, padahal tanpa
disadari mereka sebenarnya juga pelakunya," kata Ray kepada Tirto.

Namun demikian, ia menyambut baik pernyataan Jokowi dalam
pidatonya seraya berharap pernyataan tersebut dapat menjadi pecut bagi KPU dan
Bawaslu untuk segera merumuskan definisi serta sanksi terhadap pelaku politik
identitas.

“Mudah-mudahan ini juga memicu KPU dan Bawaslu untuk segera
merumuskan bersama definisi politik identitas. Kalau tidak, ini hanya akan jadi
bahan pidato-pidatoan," kata Ray.

Di sisi lain, secara kuantitatif, Drone Emprit (DE) memotret
terjadinya polarisasi pasca Pilpres 2019 hingga April 2022 di media sosial.
Salah satu kesimpulan dalam pemantauan tersebut adalah dalam periode 1 tahun
terakhir setelah pilpres lewat (sejak Januari 2021 hingga April 2022), tradisi
saling menyebut kelompok netizen dengan panggilan 'cebong, kampret, dan kadrun'
masih terus berlangsung.

“Polarisasi yang dilabeli dengan nama-nama ini terus
berjalan dan seolah dipelihara," kata Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi
sebagaimana dikutip dari situs resmi Drone Emprit, Kamis (18/8/2022).

Pantauan Drone Emprit juga menyebut bahwa pasca Pilpres 2019
sebutan “kadrun” menjadi sebutan yang paling sering dilakukan yaitu sebanyak
(54%). Sisanya dibagi untuk sebutan “kampret”, “buzzeRp”, “buzzerRp”, dan
“cebong”.

Sementara itu, terhitung sejak Juli 2015 hingga Sabtu 16
April 2022, terdapat lebih dari 14 juta cuitan yang menyebutkan keempat istilah
tersebut: Cebong 4,67 juta, kadrun 4,33 juta, kampret 3,94 juta, buzzeRp 943
ribu, dan buzzerRp 352 ribu.

Fahmi menyebut bahwa asal mula panggilan kelompok tersebut
berawal dari panggilan “cebong” dari pendukung Prabowo terhadap para pendukung
Jokowi sejak Agustus 2015.

Lalu muncul istilah “kampret” sebagai balasan atas panggilan
“cebong” pada Oktober 2015. “Panggilan cebong dan kampret mencapai puncaknya
pada April 2019, yaitu saat Pilpres 2019," kata Fahmi.

Abdul Hakim menyebut polarisasi akibat pertarungan politik
masih akan terus terjadi di Pemilu 2024. “Dan bukannya polarisasi itu
menghilang justru dalam 2 periode terakhir ini polarisasi masih cukup kental
dan saya yakin itu akan semakin menguat menjelang tahun politik
2023-2024," ujar Abdul Hakim.

Pandangan pesimistis tersebut juga dilontarkan Ray Rangkuti.
Ia mengatakan bahwa kemungkinan kontaminasi politik identitas pada kontestasi
Pemilu 2024 masih cukup tinggi.

“Saya nggak terlalu yakin akan bebas (dari politik
identitas). Yang ada justru mungkin akan membesar kalau tidak sama dengan
Pemilu 2014, Pilkada DKI atau Pilpres 2019," kata Ray.

Ray menyebut penggunaan politik identitas akan tetap parah
pada Pemilu 2024, salah satunya karena ketidakjelasan definisi politik
identitas tersebut.

“Karena itu pula tidak ada satupun yang bisa diberi sanksi
atas dasar praktik politik identitas ini. Dengan dasar itu, tidak sulit
memprediksi bahwa politik identitas ini akan marak dipergunakan dalam pemilu
dan pilpres yang akan datang," tandas Ray.

Sementara Adi Prayitno menyebut, politik identitas telah
menjadi ancaman dalam setiap gelaran pemilu.

“Ya kan kita tidak pernah tahu nanti tiba-tiba ada jagoan
tertentu, capres yang kemudian dia mengkapitalisasi segala kemungkinan untuk
menang. Ya pasti akan menggunakan politik agama, politik SARA, politik
identitas, sebagai segala-galanya," ujar Adi.

Terlebih dengan wanti-wanti Jokowi dalam pidatonya tersebut,
Adi menangkap ada pertanda bahwa pada gelaran Pemilu 2024 politik identitas
akan menguat.

“Kalau sekarang di-warning-warning itu pertanda di 2024 ada
[potensi penggunaan politik identitas] dan potensinya cukup besar. Karena
masyarakat itu sudah menganggap bahwa urusan agama ya urusan politik, urusan
mengkafir-kafirkan di dalam pemilu itu dianggap perkara biasa sekarang,"
tandasnya.